Wisata di Negeri Sendiri: Indahnya Bukan Main, Tapi Dikelola Setengah Hati

Wisata di Negeri – Indonesia tak kekurangan keindahan. Dari Sabang sampai Merauke, gugusan pulau-pulau, gunung-gunung megah, dan laut biru sebening kristal terbentang. Tapi yang terjadi di lapangan? Banyak tempat wisata lokal yang potensinya luar biasa justru di biarkan mati suri. Infrastruktur buruk, promosi lemah, dan perhatian pemerintah yang setengah hati membuat destinasi wisata yang seharusnya jadi magnet dunia, hanya jadi konsumsi warga lokal saja.

Contoh konkret bisa di lihat di beberapa pantai eksotis di Sulawesi atau Nusa Tenggara Timur. Airnya sebening kaca, pasirnya seputih tepung, dan suasananya masih alami. Tapi akses ke sana? Jalan rusak, tidak ada transportasi umum, dan fasilitas wisata hampir nihil. Wisatawan pun berpikir dua kali untuk datang, apalagi membawa keluarga.

Fasilitas Asal Jadi, Harga Tiket Tak Masuk Akal

Di sisi lain, banyak juga objek wisata yang sudah “di kembangkan” pemerintah daerah, tapi caranya seperti proyek asal jadi. Bangun gazebo yang ambruk sebelum sempat di pakai. Di buat toilet umum yang airnya tidak pernah mengalir. Di tarik tiket masuk mahal tanpa perbaikan fasilitas sama sekali.

Kita lihat saja beberapa taman kota yang di ubah menjadi destinasi rekreasi keluarga. Tiba-tiba di kenakan tarif tinggi dengan dalih perawatan, padahal rumput tidak di pangkas, lampu penerangan rusak, dan sampah berserakan di sudut taman. Masyarakat pun merasa di palak dengan cara halus oleh pengelola.

Sementara di luar negeri, destinasi wisata di kelola dengan serius. Semua dikerjakan dengan standar tinggi: dari keamanan, kebersihan, pelayanan, hingga kenyamanan. Bahkan tempat-tempat sederhana bisa di sulap menjadi spot wisata ikonik karena di kelola dengan visi jangka panjang. Di Indonesia? Semangatnya hanya proyek jangka pendek demi laporan kerja slot kamboja.

Seni dan Budaya Jadi Pajangan Bisu

Pariwisata di Indonesia tak bisa di lepaskan dari kekayaan seni dan budaya. Tapi kenyataannya, warisan budaya yang seharusnya jadi magnet wisata malah sering di abaikan. Banyak tarian daerah, kesenian tradisional, hingga ritual adat hanya di tampilkan saat pejabat datang berkunjung atau ketika ada event dadakan. Selebihnya? Seniman dibiarkan hidup dalam kemiskinan.

Bukan rahasia lagi bahwa banyak generasi muda yang meninggalkan warisan budaya karena di anggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Di sisi lain, pemerintah seolah lepas tangan, hanya peduli pada event besar yang bisa di jadikan ajang selfie dan pencitraan. Padahal jika di kelola serius, potensi ekonomi dari pariwisata budaya bisa jauh lebih kuat daripada tambang atau sawit.

Wisata Alam Dikorbankan Demi Beton dan Proyek Elit

Ironi terbesar dalam dunia pariwisata Indonesia adalah bagaimana keindahan alam justru di korbankan atas nama pembangunan. Banyak hutan lindung di jadikan kawasan resort elit. Pantai-pantai indah di jual ke investor asing. Danau alami di keringkan untuk proyek jalan tol. Dengan dalih “mendukung pariwisata”, justru yang di rusak adalah daya tarik utamanya.

Lihat saja yang terjadi di beberapa pulau kecil di Indonesia timur. Alih-alih di kelola sebagai destinasi wisata berkelanjutan, mereka dijual ke investor untuk di jadikan resor pribadi. Penduduk lokal di gusur secara halus, budaya mereka di hilangkan, dan lingkungan hancur. Apa yang tersisa? Hanya cerita sedih yang tertutup brosur pariwisata mewah.

Rakyat Lokal Tak Dilibatkan, Hanya Jadi Penonton

Satu hal yang sering di lupakan dalam pengembangan pariwisata adalah peran masyarakat lokal. Padahal merekalah penjaga budaya, pemandu alami, dan penggerak ekonomi mikro di sekitar lokasi wisata. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru seringkali tersingkir, hanya di jadikan tenaga kasar, bahkan terkadang hanya jadi penonton di tanah mereka sendiri.

Pelatihan? Tidak ada. Pendampingan? Nol besar. Yang ada hanyalah regulasi rumit yang menyulitkan warga untuk berinovasi. Usaha homestay di tutup karena “tak berizin”, warung makan di gusur demi restoran milik investor, dan perajin lokal kalah bersaing karena produk mereka di anggap “kurang estetik”.

Indonesia punya segalanya untuk menjadi raja pariwisata dunia: alam, budaya, dan keramahan. Tapi selama di kelola dengan pendekatan proyek dan pencitraan, bukan visi dan hati, maka wisata Indonesia hanya akan jadi potensi tak tergarap, sementara bangsa lain menikmati hasilnya.